BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah di
Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan
dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
di Indonesia, yaitu:
1.
Nilai Unitaris,
yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan
lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti
kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia
tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.
Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari
isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk
melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di
atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan
daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan
kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan
otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)dengan beberapa dasar
pertimbangan:
1.
Dimensi Politik,
Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan
separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.
Dimensi Administratif,
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat
lebih efektif;
3.
Dati II adalah daerah "ujung
tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu
kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang
dianut adalah:
1.
Nyata, otonomi secara nyata
diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.
Bertanggung jawab,
pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di
seluruh pelosok tanah air; dan
3.
Dinamis, pelaksanaan otonomi
selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju.
2.2 Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam
pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Otonomi Daerah memang dapat membawa
perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri
sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang
sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak
begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada
daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya,
mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan
pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi
daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih
mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan
yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi
Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan dari
berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1. Di
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah
berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang
pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan
(community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan Oktober yang memungkinkan
bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara
dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di
Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat
serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil
mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat
mereka.
Kedua
contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa
dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi
berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.
Selain
membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan Otonomi
Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi
Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang
dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar
ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi
daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era
otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di
segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah.
Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada
umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Selain
karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan
berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul
karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
tersebut.
Berbagai
penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
1. Adanya
kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah.
Keterbatasan
sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin
operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah Daerah
menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau
meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya akan
menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah.
Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari
rakyatnya hanya akam menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga
masyarakat.
2. Penggunaan
dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal
ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat
daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
3. Rusaknya
Sumber Daya Alam
Rusaknya
sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari Pemerintah Daerah
untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah Daerah
menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak
negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang Bupati yang
menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah
mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses yang semakin mempercepat
perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi
percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber
daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan yang
tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa
liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa
langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian
alam.
4. Bergesernya
praktik korupsi dari pusat ke daerah
Praktik
korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa
daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh
lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
5. Pemerintahan
kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan
milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
2.3
Faktor-Faktor
yang menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia tidak optimal
Penyebab tidak
optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia:
1.
Lemahnya pengawasan
maupun check and balances.
Kondisi
inilah kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan ketidakseimbangan
kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
2.
Pemahaman terhadap
Otonomi Daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat
menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan
masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
3.
Keterbatasan sumberdaya
dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional
pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat,
misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, dan juga
menguras sumberdaya alam yang tersedia.
4.
Kesempatan
seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan
mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi
kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing
semaunya sendiri.
5.
Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala
kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak menggunakan peran dan fungsi yang
semestinya, bahkan seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil
untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah . Semua itu terjadi
karena Otonomi Daerah lebih banyak menampilkan nuansa kepentingan pembangunan
fisik dan ekonomi.
6.
Kurangnya pembangunan
sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia (moral, spiritual intelektual dan
keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan. Sumber Daya Manusia berkualitas
ini merupakan kunci penentu dalam keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Sumber Daya Manusia yang tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan
penyelenggaraan Otonomi Daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh
dengan intrik, konflik dan penyelewengan serta diwarnai oleh menonjolnya
kepentingan pribadi dan kelompok.
2.4
Cara Mengoptimalkan Pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seharusnya membawa
perubahan positif bagi daerah otonom ternyata juga dapat membuat daerah otonom
tersebut menjadi lebih terpuruk akibat adanya berbagai penyelewengan yang
dilakukan oleh aparat pelaksana Otonomi Daerah tersebut.
Penerapan Otonomi Daerah yang efektif memiliki beberapa
syarat yang sekaligus merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi
keberhasilan Otonomi Daerah, yaitu:
1.
Manusia selaku
pelaksana dari Otonomi Daerah harus merupakan manusia yang berkualitas.
2.
Keuangan sebagai
sumber biaya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah harus tersedia dengan cukup.
3.
Prasarana, sarana
dan peralatan harus tersedia dengan cukup dan memadai.
4.
Organisasi dan
manajemen harus baik.
Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang
baik” adalah faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana
faktor yang lain bergantung pada faktor manusia ini. Oleh karena itu, sangat
penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah
kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi
Daerah harus ditempuh berbagai cara, seperti:
1.
Memperketat
mekanisme pengawasan kepada Kepala Daerah.
Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah otonom
akan terkontrol tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut tidak akan
bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Berbagai
penyelewengan yang dapat dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut juga dapat
dihindari dengan diperketatnya mekanisme pengawasan ini.
2.
Memperketat
pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh
Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota
Dewan.
3.
Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan
dalam menjalankan tugasnya
Dengan berbekal ketentuan yang baru tersebut, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang telah jelas-jelas terbukti melanggar larangan atau kode etik
dapat diganti.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia masih belum optimal. Walaupun di daerah Wonosobo
dan Gorontalo terdapat contoh nyata keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah,
tetapi kedua daerah tersebut hanya merupakan contoh keberhasilan kecil dari
pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Secara keseluruhan, pelaksanaan Otonomi
Daerah di tempat-tempat lain di seluruh pelosok Indonesia masih belum dapat
berjalan dengan optimal.
Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain disebabkan karena
adanya berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di daera-daerah otonom.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan
pelaksanaan Otonomi Daerah, tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan
untuk meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah tersebut.
Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan subjek dimana faktor-faktor lain
yang ikut menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah ini bergantung.
Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia.
B. Saran
Dari
kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara lain:
1. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan
antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah.
2. Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap
dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang
paling dekat dengan masyarakat.
3. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap
pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu
diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran.
Masyarakat dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan
tindakan aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu bertindak
aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Otonomi
Daerah.
4.
Pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah sebaiknya membuang jauh-jauh
egonya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompoknya dan lebih
mengedepankan kepentingan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak
bertindak egois dan melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar